KABAREKONOMI.CO.ID, Batam – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan bahwa impor limbah berbahaya dan beracun (B3), termasuk limbah elektronik, dilarang keras di Indonesia.
Penegasan itu disampaikan Hanif menyusul terungkapnya dugaan praktik impor limbah elektronik oleh PT Esun.
Hanif merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam pasal 69, jelas disebutkan larangan setiap orang melakukan kegiatan importasi limbah berbahaya. Sementara itu, pasal 106 mengatur ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda antara Rp3 miliar hingga Rp10 miliar bagi pelanggar.
“Ini tentunya harus menjadi perhatian kita semua. Undang-undang sudah tegas melarang impor limbah berbahaya. Karena itu, proses hukum harus berjalan terhadap dugaan kegiatan ini,” kata Hanif saat ditemui awak media disela-sela meninjau dapur MBG di Batam, Senin (22/9/2025).
Menteri Hanif juga menyebutkan bahwa, pihaknya saat ini masih melakukan pendalaman kasus tersebut. Tim Kementerian LHK sudah bergerak ke Batam dan melakukan investigasi awal, termasuk meminta keterangan di Kantor Pemerintah Kota Batam. Meski belum turun langsung, Hanif menegaskan bahwa dirinya terus memantau perkembangan kasus ini.
“Kami tentu tidak boleh berhenti untuk melakukan proses hukum dari kegiatan ini. Tim sudah melakukan verifikasi lapangan dan beberapa kegiatan diberi tanda agar sementara tidak ada pergerakan, karena sedang dalam rangka penyelidikan,” jelasnya.
Ia menambahkan, penyelidikan ini penting mengingat Batam diharapkan menjadi kota modern yang mampu bersaing dengan Singapura. “Batam adalah andalan. Karena itu, tata lingkungannya harus disusun dengan baik dan kuat demi kesinambungan program-program pembangunan ke depan,” ujarnya.
Selain melanggar aturan nasional, praktik impor limbah elektronik juga bertentangan dengan komitmen internasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Basel, yaitu perjanjian internasional yang mengatur pelarangan perpindahan lintas batas limbah berbahaya dan beracun.
“Dengan Konvensi Basel, negara tidak boleh menerima limbah berbahaya dari negara lain, termasuk elektronik waste ini. Jadi jelas, kegiatan impor ini tidak dibenarkan,” tegas Hanif.
Hanif mengungkapkan, kasus ini terungkap setelah adanya laporan dari Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa. PTRI menerima data dari Basel Action, sebuah LSM internasional yang memantau pergerakan sampah berbahaya di dunia. Laporan itu kemudian diteruskan kepada pemerintah Indonesia.
“Basel Action memberikan data list kepada kita. Setelah kita lakukan kontrol bersama Biosuke, ternyata benar salah satu tujuannya adalah Pelabuhan Batam. Temuan ini kemudian diverifikasi di lapangan dan terbukti ada indikasi yang mengarah ke sana,” jelas Hanif.
Saat ini, penyelidikan masih terus berjalan. Pemerintah berkomitmen menuntaskan kasus ini agar tidak terulang kembali. “Kami akan terus melakukan pendalaman. Mudah-mudahan dalam waktu dekat dapat diambil langkah-langkah hukum lebih lanjut,” pungkas Hanif. (Iman)