BI Kepri Perkuat Sinergi dengan Media: Literasi Inflasi Jadi Fokus Capacity Building 2025

Ia menjelaskan bahwa inflasi bukan hanya soal kenaikan harga, tetapi juga penurunan daya beli. Melalui beberapa simulasi, Adik menggambarkan bagaimana uang Rp20.000 pada tahun 2021 berbeda nilainya dengan tahun 2023 atau 2025, bahkan ketika nominalnya sama.

“Kalau pendapatan tidak naik seiring inflasi, maka nilai uang yang kita pegang terus berkurang. Itulah mengapa menjaga inflasi tetap rendah merupakan prioritas utama Bank Indonesia.”jelasnya.

Bacaan Lainnya

Menjelang Nataru dan Idulfitri, Risiko Inflasi Meningkat

BI Kepri mengingatkan bahwa dua momen besar, Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta Idulfitri, selalu menjadi titik krusial dalam pengendalian inflasi. Permintaan berbagai komoditas diperkirakan meningkat, mulai dari pangan, transportasi, hingga tiket pesawat, sehingga berpotensi mendorong harga naik.

Adik juga menyinggung kebiasaan masyarakat yang cenderung meningkatkan belanja saat hari besar, sesuatu yang dapat memicu demand-pull inflation.

“Ketika permintaan naik drastis, sementara pasokan tetap, harga otomatis bergerak naik. Ini pola tahunan yang harus kita kelola bersama, baik pemerintah daerah, instansi teknis, maupun media.” tegasnya.

BI menjelaskan dua penyebab utama inflasi:
1. Demand-Pull Inflation (Inflasi karena permintaan tinggi)
Inflasi terjadi karena permintaan melebihi pasokan. Contohnya saat libur panjang, Nataru, hingga Idulfitri. Harga ayam, telur, tiket pesawat, dan sejumlah barang konsumsi biasanya naik kerana tingginya permintaan.

2. Cost-Push Inflation (Inflasi karena biaya produksi naik)
Inflasi terjadi ketika biaya produksi meningkat akibat naiknya harga energi, logistik, atau bahan baku. Kenaikan harga BBM, tarif transportasi, atau upah minimum juga berdampak pada kenaikan harga barang.

Adik menegaskan bahwa memahami dua jenis inflasi ini penting agar masyarakat tidak menafsirkan kenaikan harga secara keliru.

BI Tegaskan Tiga Komponen Utama Inflasi

Bank Indonesia juga mengingatkan bahwa inflasi selalu dilihat dari tiga komponen yang digunakan dalam perumusan kebijakan nasional:
1. Inflasi Inti
Dipengaruhi oleh kebijakan moneter dan faktor fundamental ekonomi seperti suku bunga.

2. Inflasi Pangan Bergejolak (Volatile Food)
Dipengaruhi oleh cuaca, stok pangan, distribusi, dan kondisi global. Kelompok komoditas ini sangat sensitif dan cepat berfluktuasi.

3. Inflasi Harga yang Diatur Pemerintah (Administered Prices)
Mencakup tarif listrik, harga BBM, tarif jalan tol, dan lainnya.

Ketiganya menjadi dasar BI dalam menjalankan mandat utama menjaga stabilitas nilai rupiah, baik dari sisi daya beli maupun stabilitas sistem keuangan.

Kegiatan capacity building ini juga diisi dengan materi peningkatan kompetensi jurnalistik dan pemahaman kebijakan ekonomi. BI ingin agar jurnalis tidak hanya menjadi penyampai informasi, tetapi juga interpreter kebijakan publik—khususnya terkait inflasi dan stabilitas harga.

“Media perlu melihat inflasi bukan sekadar angka, tetapi fenomena yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, kita ingin sinergi BI dan media semakin kuat,” ujar Adik.

BI juga berharap penyampaian informasi ekonomi dapat berjalan satu jalur, sehingga publik mendapat pemahaman yang benar tentang apa yang dilakukan pemerintah dan BI dalam menjaga kestabilan harga.

Melalui forum ini, BI kembali menegaskan komitmen untuk memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah, OPD teknis, dan instansi vertikal dalam mengatasi tekanan harga di daerah.

Menurut BI, keberhasilan pengendalian inflasi bukan hanya bergantung pada kebijakan pusat, tetapi juga kesiapan daerah menjamin ketercukupan pasokan, memperkuat distribusi pangan, serta menanggapi gejolak harga secara cepat.

Capacity Building Kehumasan 2025 ini menjadi bukti bahwa Bank Indonesia Kepri memandang insan pers sebagai mitra penting dalam menjaga stabilitas ekonomi, terutama menjelang momentum-momentum besar yang sensitif terhadap inflasi.

Dengan sinergi komunikasi yang kuat, BI percaya bahwa literasi ekonomi masyarakat dapat terus meningkat, sehingga kebijakan moneter dan pengendalian harga semakin dipahami dan diterima publik secara luas.(Iman Suryanto )

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *