Menurut data yang ia paparkan, tren calon tunggal terus meningkat sejak 2015 hingga 2025, dengan 37 daerah di Indonesia memiliki calon tunggal pada Pilkada terakhir. Kepulauan Riau termasuk penyumbang fenomena tersebut.
Poin kedua yang disoroti Syafrida adalah persoalan regulasi yang tidak stabil. Menjelang Pilkada, publik disuguhi putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang saling berkaitan, tetapi keluar dalam waktu berdekatan dan memicu kebingungan.
Dalam putusan MA Nomor 23/2024; Menyatakan bahwa batas usia minimal 30 tahun bagi calon kepala daerah dihitung setelah terpilih.
Sementara itu, putusan MK Nomor 60/2020 menegaskan bahwa batas usia harus dihitung sejak pendaftaran calon, bukan setelah terpilih.
“Bayangkan, regulasi berubah-ubah. Partai politik ingin mengakomodir kepentingan pihak tertentu, sementara masyarakat justru bingung. Ini tidak tuntas di tingkat penyelenggara pemilu dan pembuat undang-undang,” katanya.
Ia menilai, kondisi tersebut menjadi alarm keras bahwa pemerintah dan DPR harus segera membahas revisi tiga paket undang-undang politik: UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Pilkada.
Syafrida juga mengungkap adanya masalah serius dalam proses pencalonan: dominasi dinasti politik, intervensi elit nasional, hingga munculnya “calon boneka” yang sengaja diciptakan untuk memenuhi syarat minimal.
“Ada calon ‘boneka’ yang disiapkan hanya untuk memberikan legitimasi pada satu kandidat yang memang sudah disiapkan sejak awal oleh pemilik modal,” ujarnya.
Menurutnya, fenomena itu bukan hanya mencederai demokrasi, tetapi juga berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak memiliki integritas dan kompetensi.
Syafrida bahkan menghubungkan dampak buruk Pilkada dengan bencana yang melanda beberapa daerah di Sumatera, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
“Ketika kepala daerah terpilih karena uang, bukan kapabilitas, maka kebijakan tata ruang, izin, dan pengelolaan lingkungan menjadi longgar. Akibatnya masyarakat yang menanggung penderitaan,” tambahnya.










