Penyelenggara Pemilu Masih Sarat Kepentingan
Syafrida kemudian menyinggung persoalan di tubuh penyelenggara pemilu, khususnya proses rekrutmen yang dianggap tidak bebas dari intervensi politik. Ia menyebut laporan ke DKPP tahun 2023–2024 terkait rekrutmen penyelenggara pemilu meningkat signifikan.
“Banyak penyelenggara pemilu bukan dipilih karena mampu atau mau bekerja, tetapi karena dipaksakan oleh pihak tertentu. Ini persoalan kapabilitas yang berdampak pada lemahnya penindakan manipulasi pemilu,” jelasnya.
Menurutnya, jika bukti dan saksi sudah ada, seharusnya semua kasus manipulasi bisa diproses hukum karena memiliki hukum acara khusus. Namun kenyataannya, banyak kasus akhirnya menguap.
Di bagian akhir, Syafrida menegaskan bahwa salah satu sumber persoalan terbesar justru berasal dari masyarakat sendiri. “Ada daerah yang bangga memasang spanduk: ‘Kami menerima uang dan sembako. Kalau tak bawa, jangan masuk kampung ini.’ Ini penyakit masyarakat kita,” ujarnya.
Menurutnya, permisif terhadap politik uang membuat masyarakat justru memilih pemimpin yang tidak amanah. Ia mengibaratkan pemilu seperti datang ke rumah makan.
“Kita ingin rendang, yang tersedia rendang hati. Mungkin bukan yang kita mau, tapi tidak menggunakan hak pilih justru memberikan kemenangan kepada orang-orang yang tidak punya niat baik memimpin daerah,” tegasnya.
Karena itulah ia mengajak semua unsur, baik tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi, partai politik, hingga penyelenggara untuk bersama-sama membangun budaya politik yang sehat.
Menutup paparannya, Syafrida menegaskan bahwa memperbaiki Pilkada bukan hanya tugas penyelenggara pemilu.
“Yang bertanggung jawab bukan hanya penyelenggara atau partai politik. Kita semua bertanggung jawab. Demokrasi tidak akan membaik jika masyarakat permisif dan tidak menggunakan akal sehat dalam memilih pemimpin,” tegasnya.
Ia berharap refleksi satu tahun pasca-Pilkada ini menjadi momentum penting untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal dan nasional. (Iman Suryanto)










