Afut menggambarkan jurnalis masa kini sebagai sosok serba bisa: pengamat isu, perekam sejarah, penafsir kebijakan, sekaligus komunikator publik. Namun di tengah padatnya lalu lintas informasi, kemampuan itu harus dibarengi dengan identitas profesional yang jelas—agar jurnalis tetap relevan, dipercaya, dan mudah dikenali.
Menurutnya, langkah pertama dalam membangun brand diri dimulai dari satu hal yang sering dilupakan: introspeksi. Siapa diri kita sebagai jurnalis? Apa nilai yang kita pegang? Apa ciri khas tulisan atau liputan kita? Di bidang apa kita paling memahami konteks dan pergerakan isu?
“Jurnalis itu setiap hari bertemu sumber, membaca fenomena, dan memproses informasi. Modalnya sudah ada. Tantangannya adalah mengemasnya kembali menjadi konten yang relevan,” ujarnya.
Afut menekankan bahwa profesionalisme jurnalis tidak lagi cukup hanya dengan cepat menulis atau akurat memverifikasi. Dunia kini menuntut lebih: konsistensi kualitas, pemahaman mendalam terhadap isu tertentu, dan kemampuan untuk mempresentasikan karya di berbagai platform.
Ia mengingatkan bahwa setiap jurnalis tidak harus hadir di semua media sosial. Justru, strategi yang efektif adalah memilih platform yang paling sesuai dengan audiens yang ingin dijangkau. Di era digital, kehadiran online bukan hanya tempat berbagi karya, tetapi juga membangun kredibilitas.
“Kita harus tahu di mana suara kita paling terdengar,” tuturnya.
