Keempat, terjadi tumpang tindih kewenangan antarinstansi. Beberapa peraturan lama yang seharusnya disesuaikan atau dicabut ternyata masih berlaku, sehingga menciptakan kekacauan regulasi. Akibatnya, ada sejumlah lembaga yang masih menjalankan fungsi serupa meskipun sudah tidak lagi memiliki dasar hukum yang jelas.
“Masalah ini bisa menimbulkan tafsir yang berbeda dalam penerbitan izin dan pelaksanaan kebijakan publik. Misalnya, kewenangan menteri yang seharusnya bersifat kebijakan malah diterjemahkan berbeda oleh lembaga pelaksana di lapangan,” tegas Osman.
BP Batam Dinilai Jadi “Super Body”
Salah satu sorotan utama FMPBM adalah posisi BP Batam yang kini dinilai memiliki kewenangan terlalu luas setelah terbitnya berbagai regulasi turunan Omnibus Law.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022, BP Batam tidak lagi menerima pendelegasian kewenangan dari kementerian, melainkan melaksanakan langsung sejumlah fungsi pemerintahan, termasuk dalam penerbitan izin berusaha, perizinan teknis, dan persetujuan lingkungan.
Menurut Osman, perubahan ini menjadikan BP Batam seolah menjadi lembaga “super body” yang kewenangannya nyaris tanpa batas.
“Kami khawatir, BP Batam justru menjadi lembaga yang terlalu kuat dan tidak sejalan dengan sistem pemerintahan Republik Indonesia. Kewenangan absolut seperti ini bisa melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” jelasnya.
FMPBM juga menyoroti bahwa dalam PP Nomor 46 Tahun 2025 yang mengatur lebih lanjut mengenai struktur dan fungsi BP Batam, belum diatur secara jelas posisi wakil kepala atau pejabat ex officio. Padahal, jabatan tersebut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi pemerintahan di tubuh BP Batam.
