3. Hilangnya Kapasitas Pengambilan Keputusan Mutlak
Pemimpin daerah secara teoritis memiliki fungsi executive decision-making. Namun ketika keputusan strategis berada di tangan lembaga lain, maka:
1. Kepala daerah kehilangan prerogatif eksekutif
Keputusan tidak lagi bersumber dari mandat elektoral, tetapi dari struktur birokrasi teknis.
2. Akuntabilitas menjadi tidak proporsional
Kepala daerah dimintai pertanggungjawaban publik, sementara kewenangan kebijakan bukan berada pada dirinya.
3. Demokrasi lokal melemah
Suara rakyat yang diwujudkan melalui pemilihan kepala daerah tidak berbanding lurus dengan kapasitas kepala daerah untuk mengambil keputusan substantif.
Hal ini sejalan dengan teori democratic deficit, yaitu kondisi ketika representasi politik tidak diikuti oleh kewenangan yang memadai untuk mewujudkan kehendak pemilih.
4. Dampak Institusional: Fragmentasi Tata Kelola Daerah
Kewenangan yang terfragmentasi antara pusat, otorita khusus, pejabat ex officio, dan pemerintah daerah menciptakan:
ketidakpastian regulasi,
tumpang tindih kebijakan,
dan hilangnya arah pembangunan daerah.
Kondisi ini bertentangan dengan prinsip “single command governance”, yang secara teoritis diperlukan untuk memastikan koordinasi vertikal dan horizontal dalam pemerintahan.
