2. Paradoks Tata Kelola Ke-Batam-an
Batam memiliki struktur tata kelola unik: Pemko Batam dan BP Batam berjalan berdampingan dengan kewenangan yang tumpang tindih.
Dalam teori institutional arrangement, dualisme kewenangan menyebabkan:
kebijakan tidak terasa langsung pada level masyarakat,
fokus lembaga lebih besar pada kepentingan investasi dan administrasi kawasan,
sementara kebutuhan fundamental seperti layanan publik dasar menjadi terpinggirkan.
Akibatnya, penghargaan lebih sering memotret kinerja kelembagaan, bukan kualitas pelayanan kepada warga.
3. Krisis Prioritas Kebijakan Publik
Secara ilmiah, terdapat istilah policy bias, yaitu ketika pemerintah lebih memilih kebijakan yang “terlihat baik” daripada yang “berdampak nyata”.
Batam seolah terjebak dalam politik pencitraan institusional, bukan pembangunan yang menjawab:
keamanan lahan bagi warga,
pemerataan pembangunan di pulau hinterland,
transportasi publik yang memadai,
mitigasi banjir yang permanen,
kepastian usaha bagi pelaku UMKM.
Dengan demikian, penghargaan menjadi indikator semu jika tidak diikuti pembenahan substansial.
4. Masyarakat Butuh Kehadiran Pemerintah yang Substantif
Pada titik ini, persoalan bukanlah penghargaan itu salah.
Persoalannya adalah kesenjangan antara penghargaan dan realitas hidup warga semakin melebar.
Masyarakat butuh:
kebijakan yang berpihak pada warga, bukan hanya investor;
pemimpin yang berani melakukan policy restructuring;
tata kelola yang menghapus dualisme kewenangan;
keberanian menggeser fokus dari pencitraan administrasi ke pemenuhan kebutuhan dasar.
Secara ilmiah, ini dikenal sebagai perluasan mandat pelayanan publik.
5. Rekomendasi Ilmiah
a. Reorientasi Kebijakan Publik
Pengukuran kinerja Pemko dan BP Batam harus memasukkan indikator kualitas hidup masyarakat, bukan hanya output administratif.
b. Harmonisasi Kewenangan Pemko–BP Batam
Skema single authority atau reformasi eks officio perlu dipertimbangkan agar arah pembangunan selaras dengan kebutuhan warga.
c. Transparansi dan Partisipasi Publik
Pengambilan kebijakan harus terbuka dan melibatkan masyarakat sehingga penghargaan bukan sekadar simbol, tapi representasi kualitas pelayanan.
Penutup
Batam dapat terus mengoleksi penghargaan, namun nilai sejatinya bukan terletak pada trofi atau sertifikat, melainkan sejauh mana kota ini menjadi tempat yang layak hidup bagi masyarakatnya.
Jika penghargaan terus dirayakan tetapi rakyat tidak merasakan perubahan, maka sesungguhnya yang dirayakan hanyalah keindahan administrasi, bukan keberhasilan pembangunan.(***)










