Oleh Muhammad Sayuti (Moesa)
Tokoh Masyarakat yang juga Praktisi Hukum
Dalam teori pemerintahan modern, kekuasaan tidak hanya dipahami sebagai atribut jabatan, tetapi sebagai kapasitas untuk mengambil keputusan yang mengikat.
Max Weber menegaskan bahwa otoritas politik harus berpijak pada legitimasi, rasionalitas hukum, dan kewenangan formal. Namun dalam praktik desentralisasi di Indonesia, terdapat kecenderungan di mana pemimpin daerah—khususnya kepala daerah—menjalankan kekuasaan yang semakin bersifat simbolik, tanpa kemampuan untuk memberikan keputusan mutlak pada ranah-ranah strategis pemerintahan.
1. Kekuasaan Simbolik dan Dislokasi Wewenang
Konsep symbolic power yang dikemukakan Pierre Bourdieu menggambarkan kekuasaan yang hadir hanya sebagai representasi, bukan sebagai mekanisme pengendalian kebijakan. Dalam konteks pemerintah daerah, kekuasaan simbolik terjadi ketika kepala daerah:
memiliki jabatan formal dan legitimasi elektoral,
namun kewenangan substantifnya dialihkan kepada lembaga teknokratis, pejabat ex officio, atau institusi vertikal yang tidak berada di bawah kendalinya.
Ketidaksinkronan antara jabatan dan kewenangan ini menandai terjadinya dislocation of power, yaitu terputusnya hubungan antara aktor politik dan kapasitas pengambilan keputusan.
2. Perspektif Hukum Tata Negara: Ketidakseimbangan Desentralisasi
Secara normatif, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur pembagian kewenangan antara pusat dan daerah berdasarkan asas: desentralisasi,dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
Namun dalam realitasnya, banyak sektor strategis—pertanahan, kawasan otorita, perizinan investasi tertentu, hingga pengelolaan aset negara di daerah—diatur melalui regulasi sektoral yang menempatkan kewenangan pada lembaga pusat atau pejabat ex officio. Akibatnya, kepala daerah hanya menjadi figurehead dalam domain kebijakan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Ketidakseimbangan ini menciptakan apa yang disebut para ahli sebagai “asymmetric decentralization gap”, yakni kesenjangan antara kewenangan normatif yang dimiliki kepala daerah dan praktik kewenangan yang dijalankan oleh aktor lain.










