Pemerintah Gelontorkan Rp200 Triliun ke Bank Negara, OJK Ingatkan Risiko NPL

KABAREKONOMI.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah menempatkan dana sebesar Rp200 triliun di lima bank negara guna memperkuat likuiditas perbankan sekaligus memacu penyaluran kredit ke sektor riil. Namun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan agar bank tetap menjaga kualitas kredit agar dana pemerintah tetap aman.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, penempatan dana ini merupakan langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bacaan Lainnya

Dana tersebut dialihkan dari Bank Indonesia (BI) ke lima bank negara, yakni BRI, BNI, dan Bank Mandiri masing-masing Rp55 triliun, BTN Rp25 triliun, serta Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp10 triliun.

“Dana pemerintah tidak boleh digunakan untuk membeli SBN, tetapi harus disalurkan dalam bentuk kredit agar benar-benar masuk ke sektor riil,” ujar Purbaya, Jumat (12/9/2025).

Ia optimistis kebijakan ini akan mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2025 dan 5,4% pada 2026.

Meski demikian, penyaluran kredit perbankan masih menghadapi tantangan. Dari sisi permintaan, kredit lebih banyak ditopang sektor berorientasi ekspor, sementara permintaan domestik masih lemah.

Dari sisi pasokan, bank cenderung menempatkan dana pada instrumen surat berharga dan tetap berhati-hati karena risiko pemburukan kualitas kredit.

Data Bank Indonesia mencatat, kredit perbankan hanya tumbuh 7,03% secara tahunan (yoy) per Juli 2025. Sementara rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) naik menjadi 2,28%, lebih tinggi dibanding 2,08% pada akhir 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae menegaskan, penempatan dana ini diharapkan bisa menekan biaya dana (cost of fund/CoF) dan mendorong penurunan bunga kredit.

“Namun, OJK meminta perbankan tetap mengedepankan manajemen risiko agar kualitas kredit terjaga dan dana pemerintah tetap aman,” ujarnya.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menambahkan bahwa tambahan likuiditas sebesar Rp200 triliun berpotensi mendorong pertumbuhan uang primer dan M2. Namun, dampaknya terhadap PDB akan sangat bergantung pada permintaan uang serta kecepatan realisasi belanja pemerintah.

“Eksekusi belanja dan koordinasi fiskal-moneter menjadi kunci agar likuiditas benar-benar mendorong permintaan domestik,” tegas Josua.(**)

Pos terkait