Sea Eagle Boat Race: Sebuah Warisan yang Menolak Tenggelam

“Pulau Belakang Padang pun kemudian dijuluki Pulau Penawar Rindu,” tutur Osman. “Tempat di mana orang bisa menenangkan hati dari hiruk-pikuk kota.”

Kegiatan perdana Sea Eagle Boat Race dijalankan penuh keterbatasan. Bahkan, kepala naga di perahu lomba dipinjam dari Bupati Bintan saat itu, Datok Huzrin Hood, dan diubah menjadi kepala elang laut hasil karya Raja Mardai, teman sekolah Osman di SMA Kartini Batam.

Bacaan Lainnya

Namun dari semangat sederhana itulah lahir sesuatu yang besar: dua tahun kemudian, Pemko Batam resmi menjadikan Sea Eagle Boat Race sebagai agenda pariwisata tahunan Kota Batam.

Kegiatan ini bukan hanya menghidupkan tradisi, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal. Dari pedagang makanan, pengrajin, seniman, hingga jasa perahu—semuanya mendapat manfaat. Belakang Padang menjelma menjadi ruang hidup bagi budaya dan ekonomi sekaligus.

Jejak Para Pejuang Budaya

Tak mungkin bicara Sea Eagle Boat Race tanpa menyebut nama-nama yang telah menorehkan sejarah.

Selain Osman Hasyim, ada alm. Nyat Kadir, Maaz Ismail, Said Hasyim, Raja Supri, alm. Arifin Nasir, Anwar Ujang, Chris T. Winarsis, PPMS, dan seluruh pengurus KKBM Belakang Padang.

Mereka—bersama pemuda, tokoh adat, dan masyarakat pulau—adalah penjaga bara api tradisi yang menolak padam di tengah arus modernisasi.

Namun, perjalanan Sea Eagle Boat Race tidak selalu mulus. Setelah sempat berjalan gemilang, kegiatan ini terhenti selama dua belas tahun.

Kini, ketika pemerintah kota kembali menghidupkannya, para penggagas lama menyambutnya dengan syukur dan haru.

Pos terkait