Tiga Besar Se-sumatera, OPINI: Memahami Data Pengangguran di Provinis Kepri

Rafki Rasyid, Ketua Apindo Batam
Rafki Rasyid, Ketua Apindo Batam

Oleh: Dr. Rafki Rasyid
Ketua APINDO Kota Batam

Banyak pihak yang khawatir ketika BPS merilis peringkat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) se Indonesia pada bulan Februari 2025 yang lalu. Dimana Provinsi Kepulauan Riau menduduki peringkat tiga besar tepatnya peringkat kedua setelah Papua.

Bacaan Lainnya

Apakah ini berarti tingkat pengangguran di Kepri begitu mengkhawatirkan sehingga bisa mengancam perekonomian secara keseluruhan? Ataukah ada penjelasan lain untuk data TPT tersebut? Tulisan ini akan mencoba mengupasnya.

Pemeringkatan oleh BPS itu bisa disebut sebagai perbandingan data secara cross section. Dimana data pada satu waktu tertentu dibandingkan. Perbandingan dilakukan dengan memakai data per provinsi seluruh Indonesia. Jika kita perhatikan polanya, maka hampir semua provinsi yang merupakan daerah tempat industri berada, TPT nya di atas 6%. Bagaimana membaca ini? Itu bisa diartikan kalau provinsi tempat industri berada, merupakan incaran bagi para pencari kerja dari seluruh Indonesia. Sehingga mereka datang dari provinsi lainnya, termasuk ke Kepri.

Kalau ditilik lebih dalam lagi, TPT di Kota Batam selalu lebih tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Kepri. Itu artinya Batam menjadi incaran bagi para pencari kerja dari daerah lainnya dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Kepri.

Selain secara cross section, data TPT juga bisa kita baca secara time series. Artinya kita membaca berdasarkan urutan dari tahun ke tahun untuk provinsi yang sama yaitu Provinsi Kepri. Jika dilihat dari tahun 2021, data pengangguran di Kepri selalu mengalami penurunan. Yaitu mulai dari 9,91 persen di tahun 2021, 8,23 persen di tahun 2022, 6,80 persen di tahun 2023, dan 6,39 persen di tahun 2024. Data tersebut dirilis setiap bulan Agustus setiap tahunnya. Artinya apa? Artinya Provinsi Kepri bisa dikatakan berhasil menurunkan tingkat pengangguran terbukanya dari tahun ke tahun.

Jika dibandingkan dengan data lainnya, proporsi pekerja penuh waktu di Kepri juga terus meningkat setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2021 hanya berkisar di angka 76,21 persen, pada tahun 2024 meningkat menjadi 82,27 persen. Itu artinya pekerja di sektor formal di Kepri terus meningkat. Artinya kesejahteraan kalangan pekerja bisa lebih terjamin karena bekerja di sektor yang kontinuitasnya lebih terjaga.

Data ini juga bisa dibandingkan dengan pekerja paruh waktu dan pekerja yang setengah menganggur di Kepri. Pekerja paruh waktu persentasenya terus menurun sejak tahun 2021 dari 17,62 persen menjadi hanya 13,81 persen di tahun 2024. Begitu juga pekerja yang setengah menganggur juga mengalami penurunan dari 6,17 persen di tahun 2021 menjadi 3,92 persen di tahun 2024. Artinya Provinsi Kepri berhasil menekan pekerja paruh waktu dan pekerja yang setengah menganggur dengan membuka lowongan pekerjaan di sektor-sektor formal yang ada di Kepri.

Lalu apakah yang menjadi persolan ketenagakerjaan di Provinsi Kepri yang ada saat ini?

Persoalan paling dasar yang menjadi ancaman bagi pembukaan lapangan pekerjaan di Kepri saat ini adalah mismatch. Yaitu adanya ketidak cocokan antara keahlian yang dimiliki oleh pelamar kerja dengan keahlian yang dibutuhkan oleh perusahaan. Mismatch juga terjadi antara bidang ilmu yang dimiliki oleh pelamar kerja dengan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Termasuk mismatch dalam hal kurikulum yang diajarkan di sekolah, perguruan tinggi, dan pelatihan vokasi, dengan kurikulum yang dibutuhkan oleh perusahaan industri di Kepri. Mismatch ini jika dibiarkan terus melebar, maka akan membuat tingkat pengangguran di Kepri meningkat. Walaupun lapangan pekerjaan terus terbuka, namun tidak mampu diisi oleh para pencari kerja karen terjadinya mismatch tersebut.

Persoalan lainnya adalah mulai beralihnya industri di Kepri ke teknologi yang lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Automasi di area produksi saat ini sudah bukan lagi sesuatu yang jarang dijumpai. Sudah banyak perusahaan di Batam yang memakai tangan robot untuk memasang dan merakit perangkat tertentu, ketimbang memakai tangan manusia. Artinya pekerjaan-pekerjaan yang tidak rumit dan berulang-ulang perlahan lahan akan digantikan oleh robot. Itu sudah mulai terjadi sejak beberapa tahun belakangan ini. Ditambah lagi dengan masifnya perkembangan Artificial Intelligence (AI) akan membuat pekerjan-pekerjaan kantor semakin menyempit bagi manusia. Jadi perkembangan teknologi yang makin cepat saat ini akan menjadi persoalan berat bagi penciptaan lapangan pekerjaan di masa depan, termasuk di Provinsi Kepri.

Persoalan ketenagakerjaan yang lain, mulai dari masih relatif besarnya jumlah pekerja yang belum terampil, etos kerja yang masih relatif rendah, produktivitas mikro dan makro yang juga masih kalah jika dibandingkan dengan negara lain, kesenjangan upah antar daerah, jumlah lembaga pelatihan vokasi yang masih relatif terbatas, dan persoalan lainnya harus juga menjadi perhatian serius. Jika ingin menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan di Kepri, maka persoalan-persoalan ini harus diurai dan dipecahkan satu per satu.

Selain menekan pengangguran dengan menyelesaikan persoalan-persoalan di atas, kita bisa juga menekan TPT dengan mendorong dan memberikan perhatian lebih pada pembukaan lapangan pekerjaan melalui pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Masih banyak UMKM yang dibiarkan berjuang sendiri tanpa perhatian dari pihak pemerintah ataupun dari perusahaan besar. Produk UMKM juga masih sulit menembus pasar ekspor walaupun Kepri berada di perbatasan dengan negara lain. Padahal, UMKM termasuk sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

Para pencari kerja yang berjuang mencari pekerjaan, seharusnya juga bisa dialihkan untuk membuka usaha sendiri dengan memberikan berbagai macam bantuan dan pendampingan. Dengan begitu mereka akan berubah dari pencari kerja menjadi pemberi kerja. Kalau hal ini berhasil, bisa dibayangkan akan sangat banyak lapangan pekerjaan baru yang terbuka.

Pemberdayaan UMKM tentunya tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Semua pihak seharusnya memiliki tanggung jawab dan peran masing-masing bagaimana mendorong bangkitnya UMKM di Kepri. Pemerintah daerah bisa memulai dengan menciptakan ekosistem yaitu kerjasama yang erat antara industri yang ada di Kepri dengan UMKM yang bisa menyuplai kebutuhan industri. Local value chain seharusnya bisa diciptakan dengan semakin berkembangnya industri di Provinsi Kepri. Jika belum terbentuk, harus dicari dimana letak persoalannya.

Perusahaan besar harus memiliki kesadaran membangun kemitraan dengan UMKM yang ada di sekitarnya. Harapannya mereka akan mendapatkan bahan baku dan bahan penolong yang lebih murah dan tepat waktu. Sehingga bisa menekan biaya produksinya yang berujung pada peningkatan keuntungannya. Dengan begitu akan tercipta hubungan yang saling menguntungkan diantara keduanya.

Masyarakat juga jangan takut memulai usaha baru. Keberadaan industri yang banyak di Kepri saat ini, seharusnya bisa memacu semangat masyarakat untuk membuka usaha baru. Keberadaan industri yang ada di Kepri seharusnya tidak dimanfaatkan hanya untuk mendapatkan pekerjaan saja, tapi juga bisa dimanfaatkan untuk menghidupi bisnis dan usaha yang lebih kecil. Dengan begitu penciptaan lapangan pekerjaan akan berlipat ganda. Dengan begitu pertumbuhan ekonomi Kepri akan bergerak lebih kencang lagi. Dengan begitu kesejahteraan masyarakat juga bisa terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.(**)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *