KABAREKONOMI.CO.ID, BATAM — Di balik geliat industri pariwisata Kepulauan Riau (Kepri) yang terus tumbuh, tersimpan tantangan besar yang kerap luput dari perhatian: kualitas sumber daya manusia. Hal itulah yang disorot tajam oleh Surya Wijaya, pendiri Asosiasi Pemandu Wisata Batam Indonesia (Aspabri) sekaligus Ketua Perhimpunan Praktisi Tour Leader Indonesia (HIPTI) Provinsi Kepri.
Dalam pandangannya, kemajuan pariwisata bukan sekadar soal promosi, infrastruktur, atau event berskala besar. Yang paling menentukan justru manusia yang bekerja di baliknya — para pemandu wisata, pengusaha kecil, pelayan restoran, hingga sopir yang setiap hari berinteraksi langsung dengan wisatawan.
“Orang Indonesia itu dikenal ramah, itu bawaan lahir,” kata Surya membuka pembicaraan. “Tapi begitu bicara soal SOP (Standard Operating Procedure), langsung jatuh. Padahal di luar negeri semua SOP dijalankan dengan disiplin.”
Ia menegaskan, keramahan alami saja tidak cukup. Tanpa profesionalisme dan pemahaman terhadap standar pelayanan, citra destinasi akan mudah rusak hanya karena pengalaman buruk satu-dua wisatawan.
Surya mencontohkan fenomena medical tourism yang kini menjadi arus besar. Setiap tahun, jutaan warga Indonesia berobat ke luar negeri—ke Malaysia, Singapura, atau Thailand—bukan hanya karena alasan fasilitas medis, tetapi karena kepercayaan terhadap pelayanan.
“Ini soal kepercayaan dan profesionalisme SDM di sektor jasa. Kita belum bisa bersaing di sana,” ujarnya.
Ia menambahkan, bahkan dalam hal-hal sederhana, seperti pengelolaan toko oleh-oleh atau pusat belanja wisata, negeri tetangga sudah jauh lebih tertib dan berorientasi pada kepuasan pengunjung.
“Di Johor Bahru, harga produk lokal jelas, murah, dan tidak dibeda-bedakan antara warga lokal dan wisatawan. Sedangkan di kita, kadang wisatawan bisa dapat harga berbeda tergantung siapa yang datang. Kalau begini, wisatawan bisa kapok dan enggan kembali,” tegasnya.
